Monday, November 22, 2010

Hati-Hati Dengan Dosa Dosa Kita Kepada IBU


Mari Kita Tatap Wajah Orang-Orang Yg kita Cintai ...

Bismillahir-Rahmanir-Rahim ...

"Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang"

Mari kita tatap wajah orang-orang tercinta kita....

Ayah kita

Ibu kita

Suami atau istri kita

Kakak dan adik kita

Anak-anak kita

Saudara-saudara kita

Sahabat dan teman-teman kita

Semua orang-orang yang kita cintai dan dekat dengan diri kita

Rasakan pekatnya cinta mereka…

Rasakan cinta yang senantiasa mengalir dan tersirat dari perbuatan mereka

Dan coba tatap lembut wajah mereka saat tidur terlelap

Betapa mereka begitu berharga dalam hidup kita…

Cium tangan mereka

Rasakan getar cinta yang deras mengalir dalam diri kita

Akan bukti cinta mereka selama ini

Hari-hari yang telah mereka lalui bersama kita

Bahkan mereka menyembunyikan kelelahan dan keluh-kesah dari diri kita

Tetap tersenyum pada kita

Kebahagiaan mereka adalah apa yang bisa mereka beri

Bukan balasan apa yang akan mereka terima

Pemberian kita sebesar apapun takkan pernah bisa setimpal dengan berdarah-darahnya mereka

Mari mengingat hari ini, pada hari-hari mereka

Yang pernah menukar nyawa demi melahirkan kita

Rela berkuah keriangat demi sesuap nasi masuk ke mulut kita

Mari kita mengingat…

Betapa berjuta-juta dan takkan terhitung lagi kebaikan yang telah mereka berikan pada diri kita

"Bisakah kita menghitung atau mengingatnya?..."

Setelah sekarang kita jauh dari mereka

Mari mengingat kembali memori

Pengorbanan dan kesusahan mereka merawat

dan membesarkan kita sampai saat ini

Rasakan kecintaan mereka begitu dalam

Yang terus mengirimkan bekal meski kita telah dewasa

Dan telah lepas kewajiban atas mereka

Relakah kita terus menyusahkan mereka?

Terus menetes air mata mereka...

Mari merasakan mereka yang begitu merindukan kita

Kita juga begitu merindukan mereka

ingin bisa menatap keteduhan wajah mereka

yang mulai keriput

Namun kita tak bisa menemuinya saat ini segera

Bayangkan seandainya terjadi sesuatu dengan orang tercinta kita

Tanpa kita ada disana

Tiada hadir disisinya

Tak punya andil dalam kesusahanya

Sedang mereka begitu mengharap-harap kehadiran kita

Anak yang mau menemani mereka

Pada sisa kehidupan mereka...

Pada detik-detik pertemuan mereka...

Kita tidak tahu, siapakah yang lebih dulu dipanggil Allah

Apakah orang tua yang kita cintai atau kita lebih dahulu

Sedang kepastian pastilah menjemput...

Kita begitu sibuk, memikirkan orang-orang baru disekitar kita; teman dekat dan rekan bisnis kita

Dan seringkali melupakan mereka yang sepanjang hidupnya

mencurahkan hidup mereka

Mereka yang saat ini kesusahan, kangen dengan anaknya

Mengharap kebahagiaan ada pada diri kita

Pengorbanan mereka seringkali tertutup kesalah-pahaman kecil kita

Yang entah kenapa kadang nampak besar

Kita seringkali melampiaskan kemarahan…

Bahkan kebanyakan pada orang yang paling kita cintai

Orang yang paling berharga dan dekat dalam hidup kita

Dan akhirnya hanyalah penyesalan…

Mari kita menimbang-timbang

"Apakah kata yang kita ucapkan akan menyakiti orang-orang terdekat kita, orang-orang yang kita cintai?"

Sekiranya akan menyakitinya sebaiknya kita batalkan, sebab akan semakin besar risiko kehilangan orang yang kita cintai

Jangan sampai kita menyesal kemudian

Setelah ketiadaaan (sepeninggal) beliau

Orang yang begitu kita cintai…

Mari cium tangan mereka, selagi kita masih bisa menggenggam erat tanganya

Telphone sekarang juga, selagi masih bisa mendengar suaranya

Pulanglah sekarang pada mereka, selagi kita masih bisa menjumpainya

Tersenyum pada mereka saat ini juga,

selagi mata mereka yang sarat kasih-sayang

masih bisa menatap wajah kita

Yang seringkali sembab karna kesedihan atau kebahagiaan kita

Ungkapkanlah "kita begitu mencintai mereka", selagi mereka ada

Lakukan sekarang juga sebelum kesempatan itu tiada

Mari kita resapi kenangan manis dan pahit yang pernah terjadi dengan menatap lekat-lekat wajah mereka

Orang-orang yang begitu kita cintai

Rasakan betapa bahagia dan haru membuncah, diri kita mengingatnya

Bayangkan apa yang akan terjadi jika esoknya orang terkasih itu

tiada selama-lamanya

Puaskan kita menangis dipangkuan mereka…

Menangis senangis-nangisnya…

........................................................................................................

Dari Seorang lelaki yang menangis sewaktu menuliskanya, berharap yang terbaik untuk orang yang begitu dicintainya setelah Allah dan rasulnya…

Semoga saudara dan saudariku bisa jua merasakanya, mengambil manfaat darinya

Mari menangis mendo’akan mereka...

“Rabbighfirlii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa rabbayaani saghiiroo...”

“ Ya Tuhanku, ampunilah dosaku dan dosa ayah ibuku, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku sewaktu aku masih kecil... ”.Bismillahir-Rahmanir-Rahim .....

Sahabat,.. Beruntung sekali yang sekarang ini Kedua orang tuanya masih ada, Coba ingat ingat lagi.., dosa dosa kita kepada mereka…, datangilah segera mereka, mohonlah maaf pada mereka, mohonlah ridho mereka atas semua kesalahan kita, dari kecil hingga sekarang ini, baik yang sengaja ataupun tidak, mohonlah ampun pada mereka agar mudah jalan kita di dunia dan akhirat kelak..

Sahabat, mungkin tulisan ini sdh pernah sahabat baca, biar kita membaca berulang kali tetap saja menghadirkan rasa yang membuat bulu roma berdiri, merinding. Semoga kita bisa mengambil hikmahnya.

Pada akhir tahun 2003, sebelas malam istri saya tidak bisa tidur. Katanya, “Mas, mungkin saya kurang dibelai. Susah tidur.” Sudah saya belai-belai tapi tidak tidur-tidur juga. Akhirnya saya membawa istri saya ke Rumah Sakit Citra Insani yang kebetulan dekat dengan rumah saya. Sudah 3 hari diperiksa tapi tidak ketahuan penyakitnya. Tidak ada hasil. Kemudian saya pindahkan istri saya ke Rumah sakit Azra, Bogor. Selama berada di Rumah sakit Azra, istri saya setiap malam minum 3 galon aqua.

Ya, 3 galon aqua. Karena badannya selalunya panas sehingga ia selalu kehausan; kehausan yang mencekik kerongkongan. Selama 3 bulan dirawat di Azra, penyakit istri saya belum juga diketahui penyakitnya.

Akhirnya saya putuskan untuk pindah ke Rumah sakit Harapan Mereka di Jakarta. Ya, harapan mereka karena mahal, kalau harapan kita mah murah. Satu malam berada di ruang ICU pada waktu itu senilai 2,5 juta. Istri saya waktu itu langsung di rawat di ruang ICU.

Badan istri saya –maaf- tidak memakai sehelai pakaian pun. Dengan ditutupi kain, badan istri saya penuh dengan kabel yang disambungkan ke monitor untuk mengetahui keadaan istri saya. Selama 3 minggu, penyakit istri belum bisa teridentifikasi, penyakit apa sebenarnya.

Kemudian pada minggu ke-tiga, seorang dokter yang menangani istri saya menemui saya dan bertanya, “Pak Jamil, kami minta izin kepada pak Jamil untuk mengganti obat istri bapak.”

“Dok, kenapa hari ini dokter minta izin kepada saya, padahal setiap hari saya memang gonta-ganti mencari obat untuk istri saya, lalu kenapa hari ini dokter minta izin ?”

“Ini beda pak Jamil. Obatnya lebih mahal dan obat ini nantinya disuntikkan ke istri bapak.”

“Berapa harganya dok?”

“Obat untuk satu kali suntik 12 juta pak.”

“Satu hari berapa kali suntik dok?”

“Sehari 3 kali suntik.”

“Berarti sehari 36 juta dok?”

“Iya pak Jamil.”

“Dok, 36 juta bagi saya itu besar sedangkan tabungan saya sekarang hampir habis untuk menyembuhkan istri saya. Tolong dok, periksa istri saya sekali lagi. Tolong temukan penyakit istri saya dok.”

“Pak Jamil, kami juga sudah berusaha namun kami belum menemukan penyakit istri bapak. Kalau pak Jamil tahu, kami sudah mendatangkan perlengkapan dari Cipto dan banyak laboratorium namun penyakit istri bapak tidak ketahuan.”

“Tolong dok…., coba dokter periksa sekali lagi. Dokter yang memeriksa dan saya akan berdoa kepada Rabb saya. Tolong dok dicari”

“Pak jamil, janji ya kalau setelah pemeriksaan ini kami tidak juga menemukan penyakit istri bapak, maka dengan terpaksa kami akan mengganti obatnya.” Kemudian dokter memeriksa lagi.

“Iya dok.”

Setelah itu saya pergi ke mushola untuk shalat dhuha dua rekaat. Selesai shalat dhuha, saya berdoa dengan menengadahkan tangan memohon kepada Allah, -setelah memuji Allah dan bershalawat kepada Rasululloh,

“Ya Allah, ya Tuhanku….., gerangan maksiat apa yang aku lakukan. Gerangan energi negatif apa yang aku lakukan sehingga engkau menguji aku dengan penyakit istriku yang tak kunjung sembuh. Ya Allah, aku sudah lelah. Tunjukkanlah kepadaku ya Allah, gerangan energi negatif apakah yang aku lakukan sehingga istriku sakit tak kunjung sembuh ? sembuhkanlah istriku ya Allah. Bagimu amat mudah menyembuhkan penyakit istriku semudah Engkau mengatur milyaran planet di muka bumi ini ya Allah.”

Kemudian secara tiba-tiba ketika saya berdoa, “Ya Allah, gerangan maksiat apa yang pernah aku lakukan? Gerangan energi negatif apa yang aku lakukan sehingga aku diuji dengan penyakit istriku tak kunjung sembuh?” saya teringat kejadian berpuluh-puluh tahun yang lalu, yaitu ketika saya mengambil uang ibu sebanyak 125 rupiah.

Dulu, ketika kelas 6 SD, Spp saya menunggak 3 bulan. Pada waktu itu Spp bulanannya adalah 25 rupiah. Setiap pagi wali kelas memanggil dan menanyakan saya, “Jamil, kapan mbayar spp ? Jamil, kapan mbayar spp ? Jamil, kapan mbayar spp ?” malu saya. Dan ketika waktu istrirahat saya pulang dari sekolah, saya menemukan ada uang 125 rupiah di bawah bantal ibu saya. Saya mengambilnya. 75 rupiah untuk membayar Spp dan 50 rupiah saya gunakan untuk jajan.

Saya kemudian bertanya, kenapa ketika berdoa, “Ya Allah, gerangan maksiat apa? Gerangan energi negatif apa yang aku lakukan sehingga penyakit istriku tak kunjung sembuh?” saya diingatkan dengan kejadian kelas 6 SD dulu ketika saya mengambil uang ibu Padahal saya hampir tidak lagi mengingatnya ??. Maka saya berkesimpulan mungkin ini petunjuk dari Allah. Mungkin inilah yang menyebabkan istri saya sakit tak kunjung sembuh dan tabungan saya hampir habis.Setelah itu saya menelpon ibu saya,

“Assalamu’alaikum ma…”

“Wa’alaikumus salam mil….” Jawab ibu saya.

“Bagaimana kabarnya ma ?”

“Ibu baik-baik saja mil.”

“Trus, bagaimana kabarnya anak-anak ma ?”

“Mil, mama jauh-jauh dari Lampung ke Bogor untuk menjaga anak-anakmu. Sudah kamu tidak usah memikirkan anak-anakmu, kamu cukup memikirkan istrimu saja. Bagaimana kabar istrimu mil, bagaimana kabar Ria nak ?” –dengan suara terbata-bata dan menahan sesenggukan isak tangisnya-.

“Belum sembuh ma.”

“Yang sabar ya mil.”

Setelah lama berbincang sana-sini –dengan menyeka butiran air mata yang keluar-, saya bertanya, “Ma…, mama masih ingat kejadian beberapa tahun yang lalu ?”

“Yang mana mil ?”

“Kejadian ketika mama kehilangan uang 150 rupiah yang tersimpan di bawah bantal ?”

Kemudian di balik ujung telephon yang nun jauh di sana, mama berteriak, (ini yang membuat bulu roma saya merinding setiap kali mengingatnya)

“Mil, sampai mama meninggal, mama tidak akan melupakannya.” (suara mama semakin pilu dan menyayat hati),

“Gara-gara uang itu hilang, mama dicaci-maki di depan banyak orang. Gara-gara uang itu hilang mama dihina dan direndahkan di depan banyak orang. Pada waktu itu mama punya hutang sama orang kaya di kampung kita mil. Uang itu

sudah siap dan mama simpan di bawah bantal namun ketika mama pulang, uang itu sudah tidak ada. Mama memberanikan diri mendatangi orang kaya itu, dan memohon maaf karena uang yang sudah mama siapkan hilang.

Mendengar alasan mama, orang itu merendahkan mama mil. Orang itu mencaci-maki mama mil. Orang itu menghina mama mil, padahal di situ banyak orang. rasanya mil. Mamamu direndahkan di depan banyak orang padahal bapakmu pada waktu itu guru ngaji di kampung kita mil tetapi mama dihinakan di depan banyak orang. SAKIT. SAKIT. SAKIT rasanya.”

Dengan suara sedu sedan setelah membayangkan dan mendengar penderitaan dan sakit hati yang dialami mama pada waktu itu, saya bertanya, “Mama tahu siapa yang mengambil uang itu ?”

“Tidak tahu mil…mama tidak tahu.”

Maka dengan mengakui semua kesalahan, saya menjawab dengan suara serak,

“Ma, yang mengambil uang itu saya ma….., maka melalui telphon ini saya memohon keikhlasan mama. Ma, tolong maafkan jamil ma…., jamil berjanji nanti kalau bertemu sama mama, jamil akan sungkem sama mama. Maafkan saya ma, maafkan saya….”

Kembali terdengar suara jeritan dari ujung telephon sana,

“Astaghfirullahal ‘Azhim….. Astaghfirullahal ‘Azhim….. Astaghfirullahal ‘Azhim…..Ya Allah ya Tuhanku, aku maafkan orang yang mengambil uangku karena ia adalah putraku. Maafkanlah dia ya Allah, ridhailah dia ya Rahman, ampunilah dia ya Allah.”

“Ma, benar mama sudah memaafkan saya ?”

“Mil, bukan kamu yang harus meminta maaf. Mama yang seharusnya minta maaf sama kamu mil karena terlalu lama mama memendam dendam ini. Mama tidak tahu kalau yang mengambil uang itu adalah kamu mil.”

“Ma, tolong maafkan saya ma. Maafkan saya ma?”

“Mil, sudah lupakan semuanya. Semua kesalahanmu telah saya maafkan, termasuk mengambil uang itu.”

“Ma, tolong iringi dengan doa untuk istri saya ma agar cepat sembuh.”

“Ya Allah, ya Tuhanku….pada hari ini aku telah memaafkan kesalahan orang yang mengambil uangku karena ia adalah putraku. Dan juga semua kesalahan-kesalahannya yang lain. Ya Allah, sembuhkanlah penyakit menantu dan istri putraku ya Allah.”

Setelah itu, saya tutup telephon dengan mengucapkan terima kasih kepada mama. Dan itu selesai pada pukul 10.00 wib, dan pada pukul 11.45 wib seorang dokter mendatangi saya sembari berkata,

“Selamat pak jamil. Penyakit istri bapak sudah ketahuan.”

“Apa dok?”

“Infeksi prankeas.”

Saya terus memeluk dokter tersebut dengan berlinang air mata kebahagiaan, “Terima kasih dokter, terima kasih dokter. Terima kasih, terima kasih dok.”

Selesai memeluk, dokter itu berkata,

“Pak Jamil, kalau boleh jujur, sebenarnya pemeriksaan yang kami lakukan sama dengan sebelumnya. Namun pada hari ini terjadi keajaiban, istri bapak terkena infeksi prankeas. Dan kami meminta izin kepada pak Jamil untuk mengoperasi cesar istri bapak terlebih dahulu mengeluarkan janin yang sudah berusia 8 bulan. Setelah itu baru kita operasi agar lebih mudah.”

Setelah selesai, dan saya pastikan istri dan anak saya selamat, saya kembali ke Bogor untuk sungkem kepada mama bersimpuh meminta maaf kepadanya,

“Terima kasih ma…., terima kasih ma.”. Namun…., itulah hebatnya seorang ibu. Saya yang bersalah namun justru mama yang meminta maaf. “Bukan kamu yang harus meminta maaf mil, mama yang seharusnya minta maaf.”

Pesan pak Jamil di akhir kisah,

“Kalau kita punya kesalahan sama mama kita, maka mintalah maaf kepadanya, dan jangan menunggu waktu lebaran.

Kenapa istri saya sakit tidak kunjung sembuh dan uang tabungan saya habis ? karena itu terkuras oleh energi negatif saya berupa mengambil uang. Uang itu memang tidak seberapa, 125 rupiah namun karena energi dicaci, direndahkan dan diremehkan di depan banyak orang terkumpul menjadi satu dan itu sangat membuat ibu saya tersiksa, dan mungkin mendoakan kejelekan kepada orang yang mengambil uangnya, maka hal itu sudah cukup menguras uang tabungan saya dan ujian berupa sakitnya istri yang tidak kunjung sembuh. Energi negatif berbuah negatif dan energi positif berbuah positif.”


No comments:

Post a Comment