Thursday, April 7, 2011

BILA DI DUNIA BUTA HATINYA, MAKA DI AKHIRAT NANTI AKAN LEBIH SESAT JALANNYA


Kita wajib beriman kepada para nabi dan rosul-Nya secara umum, nabi yang kita ketahui maupun yang tidak, maka begitu pula kita wajib mengimani secara khusus kepada para rosul yang disebutkan namanya oleh Allah. Telah disebutkan dalam Al-Qur’an lebih dari 20 nama rosul, dengan meyakini bahwa Allah juga mempunyai rosul-rosul. Allah berfirman, “Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rosul sebelum kamu, diantara mereka ada yang Kami ceriterakan kepadamu dan diantara mereka ada yang tidak Kami ceriterakan kepadamu...”(Ghafir ayat 78). Secara nyata dan jelas bahwa Allah telah menyempurnakan nikmat-Nya untuk kita dengan menunjukkan kepada jalan yang lurus, dan telah menyempurnakan agama kita sehingga kita tidak perlu lagi kepada yang lainnya, juga tidak kepada nabi lain selain nabi kita (Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena Allah telah menjadikannya sebagai penutup para nabi, tidak ada yang halal kecuali yang sudah dihalalkannya, dan tidak ada yang haram melainkan yang sudah diharamkannya, serta tidak ada agama kecuali apa yang telah disyaariatkannya. Beliau adalah utusan Allah kepada makhluk semuanya. Semua rosul menjelaskan bahwa mereka bukanlah malaikat, tidak mengetahui yang ghaib dan tidak memiliki perbendaharaan Allah, akan tetapi mereka adalah manusia yang diistimewakan oleh Allah dengan menerima wahyu, dan mencapai puncak derajat kemanusiaan yaitu ubudiyah (penghambaan) yang murni kepada Allah Robbul ‘Alamiin.

Bila seseorang ditakdirkan berada di suatu benua atau pulau yang tidak pernah mendengar berita agama, dan tidak pula terdapat bekas-bekas agama di sana, seperti misalnya Eropah, atau pernah mendengar mengenai agama di zaman-zaman yang lampau, akan tetapi kemudian dilupakan orang seperti di Mesir umpamanya (sebelum kedatangan kedua orang rosul yaitu Yusuf dan Musa ‘alaihissallam), apakah mereka terpengaruh dengan agama? Tidak perlu diragukan lagi bahwa perbedaan dan pertentangan menjadi sebab utama dari kedatangan agama-agama langit, guna menghilangkan kekacauan dan kegoncangan yang timbul karena perbedaan kepercayaan dan upacara keagamaan. Oleh karena itu, Tuhan Pencipta Alam-pun meletakkan batas bagi tindakan yang berbeda-beda (tidak senonoh) itu dengan perantaraan lisan para Rosul-Nya, bahwa agama yang benar itu adalah agama langit, dan bahwa bangsa-bangsa itu tidak boleh campur tangan untuk membuat ketetapan agama langit tersebut, dan agama langit hanyalah mempunyai satu sumber yaitu langit (Allah). Oleh sebab itu, setiap orang yang berakal merasa penting adanya suatu keadaan masyarakat yang berpendapat bahwa mensiarkan akhlak keagamaan itu wajib hingga sampai ke negara-negara yang tidak mempunyai agama. Lebih dari itu, harus diingat bahwa ilmu pengetahuan mengakui dengan terus terang bahwa asas kemasyarakatan yang paling sempurna dan tingkatan kemakmuran hidup yang paling tinggipun merasa berhutang budi semata-mata dan satu-satunya hanya kepada agama bukan kepada teori kaum cerdik pandai dan ahli-ahli filsafat.

Demikian pula menurut pandangan Islam, bahwa perkawinan merupakan suatu ikatan yang suci, dimana perkawinan adalah sebuah bangunan yang kokoh lagi terhormat, yang tidak boleh dicampuradukan dengan suatu penyakit dan tangan-tangan kotor yang dapat membinasakannya. Tanggungjawab yang besar dalam suatu perkawinan dimaksudkan agar memperkecil terjadinya perceraian, dimana mengembalikan manusia kepada kesucian hati, membentuk eksistensi kekeluargaan dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada keluarga untuk bekerja demi terealisasinya segala kewajiban yang diembannya. Orang sering mempertanyakan mengenai kebudayaan Islam tidak memperlakukan secara manusiawi terhadap kaum hawa, sebagai contoh : Islam membolehkan poligami, sedangkan pada kekebudayaan Eropah dan Amerika (bahkan Australia) yang umumnya beragama lain tidaklah demikian, sehingga para kaum hawa ditakutkan tidak diperlakukan secara manusiawi. Apakah hal ini benar? Pernyataan tersebut tidaklah benar, karena Rosulullah mengajarkan bahwa para kaum wanita harus diperlakukan dengan baik sebagai amanah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dalam ajaran agama Islam, ibadah yang sebenarnya adalah ibadah yang memenuhi syarat ikhlas dan ittiba’ (mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Ikhlas dalam niatnya (karena Allah) dan ittiba’ dengan konsisten mengikuti ajaran-ajaran samawi berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “..agar Dia menguji siapakah diantara kamu yang lebih baik amalnya...” (Hud ayat 7). Manusia diciptakan untuk diuji, Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat” (Al-Insan ayat 2). Ujian tersebut telah disitir oleh Rosulullah dengan sabdanya, “Jauhilah tujuh perkara yang membawa kepada kehancuran. Para sahabat bertanya, Apakah ketujuh perkara itu, wahai Rosulullah?”. Beliau menjawab Yaitu syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan sebab yang dibenarkan agama, memakan riba, memakan harta anak yatim, membelot dalam peperangan dan melontarkan tuduhan zina terhadap wanita-wanita mukminah yang terjaga dari perbuatan dosa dan tidak tahu menahu tentangnya” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk adalah salah satu rukun iman. Takdir adalah satu mata rantai dari untaian tauhid. Dan beriman kepada sebab-sebab yang menghantarkan kepada takdir yang baik maupun yang buruk adalah aturan syariat. Tidak akan lurus dan benar urusan dunia dan agama ini tanpa adanya iman kepada tauhid dan syariat. Oleh karena manusia bisa memilih dalam perbuatannya, baik itu iman dan istiqamah atau pun kebaikannya, karena itu diadakanlah pertanyaan, hisab, pahala dan siksa. Tetapi hal ini tidak berarti perbuatan manusia keluar dari kekuasaan Allah, karena ia tidak mampu berbuat kecuali dengan apa yang Allah telah kuasakan atasnya. Ia tidak berkehendak dan berbuat kecuali apa yang dikehendaki oleh Allah untuk dikerjakannya sebagaimana disebutkan dalam dalil-dalilnya.

Selanjutnya, apa-apa yang melampaui batas selamanya tidak baik. Begitu pula halnya dalam urusan berbicara. Bila seseorang, perlu tidak perlu merasa selalu harus berbicara baik itu menyangkut urusannya atau bukan serta tidak peduli yang diucapkannya salah atau benar, maka tentunya termasuk kategori berbahaya. Seringkali pembicaraan-pembicaraan yang tak kenal batas dan kaidah syar’i itu lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Termasuk ke dalam katagori yang berbahaya dan tentunya berdosa adalah pembicaraan yang berupa ghibah (membicarakan keburukan-keburukan orang), dusta, lelucon kotor, fitnah dan kata-kata celaan atau hinaan. Seseorang mudah berbicara, menyuruh orang untuk baik, beribadah dan sebagainya, namun biasanya lupa menyuruh dirinya sendiri. Betul? Untuk itu, “ada saatnya berbicara dan ada saatnya diam” perlu direnungkan dan difahami. Sebagai contoh, dalam suatu survey pernah ditanyakan kepada sekumpulan anak remaja (pelajar) mengenai suatu masalah yang paling mereka sesali. Mayoritas mereka menjawab, “Saya tidak mengenal siapa ibu bapak saya sebenarnya”, mekipun mereka hidup di bawah satu atap, satu keluarga, mereka tidak dapat memahami satu sama lain secara baik.

Kita ternyata tidak begitu memahami orang-orang yang dekat dengan kita. Boleh jadi, anda belum mengenal secara baik dengan suami anda atau sebaliknya anda belum mengenal baik dengan istri anda, padahal kita hidup telah berpuluh-puluh tahun. Ini bisa saja terjadi, karena anda tidak mengetahui cara berkomunikasi yang baik. Contoh dalam memahami orang-orang yang dekat dengan kita adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz menawarkan kepada istrinya, apakah Fathimah akan mengikuti cara hidup baru yang dilakukan oleh suaminya, atau kalau tidak ingin menderita, lebih baik kembali kepada keluarganya. Apa jawaban Fathimah?. “Ya..suamiku. Lakukanlah apa yang engkau kehendaki dan aku akan selalu mendampingimu. Aku bukanlah wanita yang hanya suka mengikut dalam kesenangan, namun jika kesusahan datang, aku meninggalkanmu!”. Selanjutnya, khalifah zuhud itu berkata kepada istrinya, “Fathiman, kau tahu bukan, bahwa semua harta yang ada di tangan kita, di tangan saudara-saudara kita, berasal dari kaum muslimin. Aku ingin menarik dan mengembalikan semua itu ke Baitul Mall. Hal itu akau akan mulai dari diriku sendiri. Aku tidak akan menyisakan sedikitpun selain sebidang tanah yang kubeli dengan harta bayaranku sebagai pegawai. Dan aku akan hidup dari tanah itu..!”.

Fatimah memahami bahwa suatu saat dicabut rohnya (keadaan di saat naza’) maka yang merasakan sakit adalah roh. Jika anggauta tubuh terluka atau terbakar, maka rohnya merasa sakit. Sebanyak rasa sakit yang dirasakan roh, itulah rasa sakit yang diderita tubuh. Rasa sakit itu tersebar ke seluruh bagian tubuh, sementara rasa sakit yang dirasakan oleh roh hanya sebagian saja. Jika rasa sakit itu menimpa roh itu saja dan tidak menimpa yang lainnya, maka betapa hebat dan kerasnya rasa sakit itu. Begitu dahsyatnya kematian itu tidak dapat diketahui secara pasti, kecuali oleh orang yang telah merasakannya. Sedangkan orang yang belum merasakannya dapat diketahui dengan mengkiaskannya sebagaimana Umar radhiallahu ‘anhu berkata kepada Ka’ab al-Ahbar, “Hai Ka’ab, ceritakan kepada kami tentang kematian”. Ka’ab menjawab, “Baik wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya kematian itu seperti sebatang ranting yang banyak durinya, lalu dimasukkan ke dalam tubuh seseorang dan setiap duri diambil pada setiap urat. Kemudian ditarik oleh seseorang dengan keras.Ia ambil apa yang ingin diambilnya, dan ia tinggalkan apa yang ingin ditinggalkannya”. Fatimah juga menyadari bahwa kedermawanan itu pada dasarnya adalah sebagai ibarat memberikan sesuatu yang sudah lebih dari keperluannya sendiri kepada orang yang membutuhkan atau orang yang tidak membutuhkan. Oleh karena itu, jikalau seseorang memberikan hartanya yang ia sendiri masih membutuhkannya, maka itulah kedermawanan yang seutama-utamanya dan sulit untuk dilakukan. Inilah yang dinamakan lebih memerlukan kepentingan orang lain daripada kepentingan dirinya sendiri.

Itulah kecantikan seorang istri (wanita), karena Kkcantikan seorang istri itu relatif. Bila kecantikannya diukur dengan fisik yang menjadi daya tarik, hanya melenakan pada pandangan pertama atau saat awal bertemu dan belum tentu pesona kecantikan karena fisik ini tidaklah berjangka waktu yang panjang. Namun, bila kecantikannya dengan ukuran menarik, maka akan menjadi lain. Kenapa? Menarik itu terbentuk dari keutuhan kepribadian. Berbagai hal yang menjadikan seseorang itu “menarik”, yaitu mulai dari kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional hingga kecerdasan spiritual dan kecerdasan religius. Begitu juga kegantengan atau ketampanan seorang suami (pria) itu relatif. Berbagai hal yang menjadikan seorang istri itu menjadi tertarik kepada suaminya, yaitu Penuh Pengertian, Setia, Sabar dan Pemaaf, Teguh Hati dan Bersemangat, Romantis, Rapih dan Wangi, Ceria dan Ramah, Menjadi Pemimpin yang Melindungi.

Satu hal lagi adalah sifat pemarah yang tidak disukai baik oleh istri (wanita) maupun suami (pria), karena marah itu sebenarnya adalah nyala api yang bersumber dari api Allah yang menyala berkobar-kobar serta menjulang tinggi sampai naik ke hulu hati. Marah adalah semacam bara api yang berada di dalam lubuk jantung, bagaikan sekamnya suatu bara api di bawah abu. Marah itu ditimbulkan oleh sifat kesombongan yang terpendam dalam kalbu setiap orang yang curang dan durhaka sebagaimana memancarnya api dari batu yang dipukulkan pada besi. Para ahli yang mengetahui cahaya kebenaran dan keyakinan mengatakan bahwa manusia itu adakalanya dapat tertarik urat sarafnya oleh tipu daya syaitan yang terlaknat. Oleh karena itu, barangsiapa yang dapat dipengaruhi oleh api kemarahan, maka berarti amat eratlah hubungannya dengan syaitan, sebagaimana firman-Nya, “Engkau (ya Tuhan) menjadikan saya (syaitan) dari api dan menjadikan ia (Adam) dari tanah” (Al-A’raf ayat 12). Emosi dan perasaan itu timbul karena dua hal, yaitu kegembiraan yang memuncak dan musibah yang berat. Rosulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku melarang dua macam ucapan yang bodoh lagi tercela, yaitu keluhan tatkala mendapatkan nikmat dan umpatan tatkala mendapatkan musibah”. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun berfirman, “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu” (Al-Hadid ayat 23). Emosi yang tak terkendali itu hanya akan melelahkan, menyakitkan dan meresahkan diri sendiri, karena ketika marah, maka kemarahannya akan meluap dan sulit dikendalikan sehingga akan membuat seluruh tubuhnya gemetar, mudah memaki siapa saja, seluruh hatinya tertumpah ruah, nafasnya terengah-engah, tersenggal-senggal, dan cenderung akan bertindak sekehendak nafsunya. Bila saat gembirapun, ia menikmatinya secara berlebihan, mudah lupa diri, dan tidak ingat lagi siapa dirinya. Di saat itulah syaitan masuk ke dalam tubuhnya, mengguncang-gundangkan kalbunya dan menutupi mata serta telinga sehingga tanpa sadar ia melakukan apa saja yang diperintahkan oleh syaitan yang terkutuk.

Demikian juga banyak orang saat ini salah mengartikan masalah “Khamar” atau “Minuman Keras” atau lebih luas lagi dengan “Narkoba”, dimana mereka itu menetapkan dalilnya seenak sendiri, artinya yang dapat menguntungkan dirinya sendiri. Kenapa? Karena mereka itu sangat menikmati hal-hal yang melupakannya sesaat, menghilangkan keruwetan hidupnya yang sesaat, menyenangi dan memperkuat khayalannya yang sesaat. Hal ini tidak saja digandrungi oleh para remaja yang merasa kuat dan sombong atau mencari jati dirinya yang menyimpang, juga para orang tua yang sedang menghindari kesulitan dan keruwetan dalam hidupnya. Ya, baik dari jenis laki-laki maupun perempuan. Mereka tahu akan hukum dan akibat perbuatannya, namun selalu melakukan perbuatan itu, dan bahkan menjadikan kebiasaannya. Coba bayangkan, apa yang akan terjadi pada bumi seandainya esok hari “matahari” tidak terbit ?. Dalam waktu beberapa jam saja, bumi akan terasa dingin seperti dinginnya musim dingin. Setelah beberapa hari berlalu, sungai, danau dan waduk akan mulai membeku, dan tumbuhan serta hewan akan mulai berjatuhan mati satu persatu. Tidak lama setelah itu, SPBU akan menjadi padat. Mesin-mesin tidak akan bekerja, dan generator pembangkit listrik akan berhenti. Tidak ada cara apapun untuk mengangkut makanan ke toko atau untuk membawanya pulang. Jika tidak dapat ditemukan bahan bakar untuk membuat api, tidak akan ada cahaya atau panas. Namun, apakah hal ini benar-benar dapat terjadi?

Untuk mengatasi sifat emosi dan melupakan sesaat, hendaknya memahami firman daAllah Subhanahu wa Ta’ala, “Sesungguhnya sholat itu adalah merupakan kewajiban yang ditentukan atas semua orang mukmin” (An-Nisa’ ayat 103). Pernah Rosulullah ditanya, “Amalan-amalan apakah yang lebih utama?”. Beliau menjawab, “Yaitu sholat tepat pada waktunya” (HR Bukhari dan Muslim). Selain itu, Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, Yang pertama ditanyai manusia di hari kiamat dari amalnya adalah sholatnya, bila diterima sholatnya, diterima semua amalnya, dan bila ditolak sholatnya, ditolak semua amalannya”. Rosulullah juga pernah bersabda, “Akan datang bagi manusia suatu zaman dimana mereka sholat, namun dianggap Allah mereka tidak sholat”. Para sahabat bertanya, “Kenapa ya Rosulullah?”. Beliau menjawab, “Karena mereka tidak menyempurnakan berdirinya, rukuknya dan sujudnya, lebih-lebih ucapannya”. Lagi Rosulullah bersabda, “Seorang selesai menunaikan sholat, tetapi yang diterima dari sholatnya itu sepersepuluhnya, sedangkan sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya dan seperduanya”. Ketika ditanya oleh para sahabat, “Kenapa begitu ya Rosulullah?”. Beliau menjawab, “Sholat yang diterima hanya yang dimengerti oleh pelakunya”. Perlu diketahui bahwa sholat yang dikerjakan dengan khusyu’ dan penuh dengan ketundukan serta kepasrahan yang total kepada Rabb akan memberikan energy spiritual. Energi inilah yang mengajak hati menjadi tenteram dan jiwa menjadi damai. Sholat dengan konsentrasi yang penuh untuk mengarahkan seluruh anggauta tubuh dan ruhani bergerak menuju Rabb, akan menyeret diri kita dalam suasana yang santai dan rileks, karena kita sedang melepaskan diri dari keadaan riil dan segala macam keruwetan peristiwa disekitar kita. Kondisi jiwa yang tenang dan fikiran yang bebas dari pengaruh sholat merupakan pengobatan yang efektif dalam menangani ketegangan dalam syaraf.

Tujuan diutusnya Rosulullah adalah mensucikan jiwa (tazkiyatun nafs) dari kezhaliman dan kesesatan. Kebersihan atau kesucian jiwa ini sampai-sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah sebagaimana firman-Nya, “Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya, dan langit serta penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh rugilah orang yang mengotorinya” (Asy-Syamsu ayat 1-10). Bagaimana cara membersihkan jiwa itu?”. Ada tiga hal pokok untuk mencapainya, yaitu tauhid yang shahih, itba’ur Rosul dan tarkul-ma’ashi.

Mengenai pensucian jiwa dari kesyirikan, sebenarnya pernah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya kepada kaum Nashrani dengan cara mubahalah adalah suatu cara untuk mengakhir perselisihan dan pertentangan diantara kedua belah fihak yang bersengketa dengan cara masing-masing fihak memohon kepada Allah, agar Allah menjatuhkan kutukan dan laknat-Nya kepada fihak yang berdusta. Ketika itu, Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kisah yang sebenarnya mengenai Nabi Isa ‘alaihis sallam, putra Siti Maryam, yaitu bahwa Maryam dikenal sebagai seorang sholehah, yang tekun beribadah dan selalu menjaga dirinya dari segala dosa. Siti Maryam tidak pernah bersuami, dan tidak berhubungan dengan seorang pria sekalipun, namun meskipun tidak pernah berhubungan dengan seorang pria, Siti Maryam hamil dan melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Isa. Kejadian seperti ini bagi Allah sudah barang tentu sangatlah mudah. Bukankah Allah telah menciptakan alam semesta berikut isinya, dari tidak ada menjadi ada? Tidak ada sesuatu pun yang sulit bagi Allah. Oleh karena itu dalam kaitan dengan kejadian Isa ‘alaihis sallam, Allah dengan tegas berfirman, “Sesungguhnya, misal (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya : Jadilah (seorang manusia), maka jadilah ia” (Ali Imran ayat 59). Satu hal lagi di antara ajaran Islam yang sering menjadi sasaran bulan-bulanan cacian, cercaan serta cemoohan para kaum kafir adalah ajaran berpoligami dalam Islam, khususnya poligaminya Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Tuduhan beracun yang mereka lemparkan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau dituduh sebagai orang yang mempunyai kelainan sexual (hipersex). Mereka menggambarkan kebencian mereka dengan membuat gambaran Buraq sebagai makhluk berwajah wanita cantik, sebagai tunggangan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam peristiwa isra’ dan mi’raj.

Orang-orang kafir, baik Yahudinya, Nashraninya dan musyriknya, menuduh Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang buas kepada wanita. Akibatnya, banyak diantara orang yang mengaku diri muslim, ikut-ikutan mempercayai tuduhan beracun tersebut. Sudah jelas, bagi pemeluk Islam yang terlibat dan terseret mempercayai tuduhan beracun tersebut kembali kepada ketidak mengertian (memahami) akan ajaran Islam serta hikmah “tasyri” yang berada dalam setiap ketetapan hukum Islam. Untuk itu, perlu diketahui dan disadari serta difahami, meskipun tidak secara mendalam, apa sebenarnya hikmah yang berada di balik (latar belakang) berpoligaminya Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang dituduhkan oleh mereka terhadap Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang mempunyai kelainan sexual (hipersex) dan sebagainya tidaklah benar dan merupakan suatu propaganda murahan tanpa dibuktikan dengan faktanya. Bahkan umat Islam sendiri dengan dalih ibadah dan mengikuti sunah Nabi, suka dengan poligami, padahal hanyalah nafsu belaka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin, dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka” (Al-Ahzab ayat 6). Ayat ini dimaksudkan bahwa Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang nabi dan rosul bagi orang-orang mukmin yang berasal dari kaumnya sendiri (Quraisy) dan istri-istri beliau merupakan ibu-ibu dari orang-orang mukmin, yang janda (setelah Rosulullah wafat) diharamkan untuk dinikahi oleh orang-orang mukmin (sahabat beliau). Ayat ini harus diyakini benar dan dijunjung tinggi kehormatan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam baik sebagai nabi maupun rosul-Nya.

Tuduhan beracun dan berdalih ibadah mengikuti sunah Nabi di akherat akan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, apa-apa yang dilakukan selama hidupnya di dunia ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati. Akan diminta pertanggungjawabannya” (Al-Isra’ ayat 36). Selanjutnya dari Abu Barzah Al-Aslami, bahwasanya Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Tidaklah bergerak kedua kaki hamba pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang empat perkara : tentang umurnya untuk apa dihabiskan, tentang tubuhnya dalam kegiatan apa digunakan, tentang amalnya untuk apa ia beramal, tentang hartanya dari mana ia memperolehnya, dan untuk keperluan apa ia membelanjakannya” (HR Muslim dan Tirmidzi). Dengan hanya memperhatikan tanda-tanda kekuasaan-Nya lah, kita dapat mengetahui akan keberadaan dan kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentunya harus yakin dan faham betul bahwa tidak ada satu makhluk pun yang semuanya pasti ada yang menciptakan. Dan siapakah yang menciptakan makhluk-makhluk tersebut kalau bukan Allah?. Buta mata, belum tentu membawa bencana, tetapi buta hati, sudah pasti akan mendatangkan siksa. Kenapa? Karena apabila manusia sudah menderita penyakit buta hati, selama ia belum mendapatkan cahaya Ilahi yang berupa petunjuk kebenaran atau hidayah, maka selama itu pula ia akan tersesat jalannya. Bukan jalan menuju syurga yang ia tempuh, melainkan jalan menuju ke neraka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan barangsiapa yang buta (hati) di (dunia) ini, maka ia buta di akherat nanti, dan bahkan lebih sesat jalannya” (Al-Isra’ ayat 72).

Sekarang berilah hak tubuh kita untuk beristirahat dari seluruh aktivitas yang dilakukannya (termasuk tuduhan beracun), karena setiap orang memiliki kekuatan yang terbatas. Tubuh yang kekar sekalipun akan mengalami kelelahan. Allah Yang Maha Mengetahui semua kelemahan makhluk-Nya, sehingga memberikan malam sebagai istirahat sebagai bukti kemurahan dan kasih sayang-Nya sebagaimana ditegaskan dalam Surat Al-Qashash ayat 73, "Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebagian dari karunia-Nya (pada siang hari), dan agar kamu bersyukur kepada-Nya". Islam sesuai dengan tuntunan dan ajaran yang dibawa oleh Rosulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam sangat memperhatikan hak-hak yang harus diperoleh tubuh kita. Bahkan ditegaskan bahwa kita harus memenuhi hak-hak yang harus diperoleh tubuh kita, diantaranya adalah “hak untuk tidur”. Tidur merupakan hak tubuh kita untuk istirahat. Dalam ajaran Islam, tidur adalah karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya sebagai suatu nikmat dan tidur juga dapat dikatakan sebagai ibadah. Kenapa ibadah? Ya, ibadah bila tidurnya mengikuti petunjuk yang diajarkan oleh Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Kaum muslimah hendaknya tidak ikut-ikutan apa yang dilakukan (pola hidup) wanita jahiliyyah yang bebas dan malas merawat atau mendidik anak. Untuk itu, hendaknya bagi setiap wanita muslimah berkewajiban untuk membangun keluarga bahagia yang diridhoi dan dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena rumah tangga merupakan kehormatan bagi setiap wanita muslimah. Ungkapan ini bukanlah berarti Islam mengekang kaum wanita, bahkan Islam mengajarkan agar kaum muslimah diwajibkan mendidik anak-anaknya untuk menuntut ilmu yang sesuai dengan fitrahnya. Mewajibkan untuk menjadi pendidik dan induk generasi, tentu seorang muslimah harus pandai dan cerdas. Usaha ke arah ini dilakukan tanpa harus menjadikan mereka melalaikan tugas yang sebenarnya dalam rumah tangga. Banyak para wanita terperangkap pada kesibukan yang seharusnya merupakan tugas kaum pria, sehingga mereka terjebak menjadi makhluk yang tidak berharga di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rosul-Nya. Wanita yang berada di luar rumah, turut aktif bersama kaum pria sebenarnya merugikan dirinya sendiri. Kondisi fisiknya akan menjadi semakin lemah, karena fitrah yang berlangsung tidak dapat ditolaknya. Efisiensi kerja dalam struktur rumah tangga pun terganggu, sehingga berakibat seringkali terjadi konflik yang mengganggu keutuhan rumah tangga (misalnya terjadi perselingkuhan).

Pendidikan anak menjadi terbengkalai dan lahir atau moralnya anak-anak yang dibesarkan oleh pembantu atau orang lain menjadikan kurang sempurna. Hal inilah yang merupakan buah dari slogan kebebasan wanita yang didengung-dengungkan oleh orang-orang di luar Islam. Padahal hasil dari gerakan kegiatan di luar rumah adalah menghancurkan fitrah kemuslimahannya. Bisakah seorang muslimah yang sekaligus dapat menjadi fitrahnya (kegiatan rumah tangga) dengan memperoleh penghasilan dengan kegiatan di rumah untuk mensejahterakan rumah tangganya (misalnya memproduksi barang-barang asesoris yang dapat dijual, jahit menjahit dan sebagainya) ? Bila dapat dilakukan adalah lebih baik daripada terperangkap pada kesibukan di luar rumah.

Manusia diwajibkan mensyukuri nikmat yang telah Allah anugerahkan, tak terkecuali dengan kesehatan yang telah Allah berikan kepada manusia. Untuk itu harus pandai-pandailah menjaganya, karena kesehatan merupakan salah satu nikmat Allah. Namun kebanyakan manusia terlena manakala tubuhnya terasa sehat tanpa ada gangguan rasa sakit. Begitu juga waktu luang, kadang dipergunakan untuk pekerjaan atau perbuatan yang tidak bermanfaat bagi dirinya, bagi keluarganya dan bagi lingkungannya. Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Dua nikmat yang kebanyakan membuat manusia terpedaya olehnya yaitu sehat dan waktu luang (kosong)” (HR Bukhari). Dalam keadaan tubuhnya terasa sehat, manusia lupa bahwa tubuh ini perlu kalori untuk mendapatkan energy untuk menunjang ketahanan tubuhnya, sehingga tidak jarang akibat lupa makan menjadi tubuh melemah dan mempengaruhi komposisi unsur dalam tubuh. Sedangkan makan tanpa ada kebutuhan untuk itu (tidak lapar) akan menyebabkan kekebalan. Makan tanpa didahului rasa lapar dapat menimbulkan penyakit. Untuk menghindari terjangkitnya penyakit, jalan yang terbaik dan mudah adalah mengikuti petunjuk Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Kami adalah satu kaum yang tidak makan kecuali karena lapar, dan apabila kami makanpun tidak pernah terlalu kenyang”. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun melarang makan terlalu banyak (kekenyangan) sebagaimana firman-Nya, “Makan dan minumlah kalian, jangan berlebihan”. Benar-benar kesehatan itu harganya mahal sekali. Coba anda lihat, berapa banyak orang-orang di rumah sakit yang penyakitnya tak kunjung sembuh bahkan ada yang beberapa minggu masih dalam keadaan koma di ruangan ICU. Untuk itu, ajaran agama Islam sangat dianjurkan bagi seorang muslim untuk memohon doa kesehatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena kesehatan merupakan karunia atau nikmat terbaik setelah keimanan.


No comments:

Post a Comment