Friday, April 8, 2011

AGAMA DAN CAHAYA IMAN


Kesengsaraan hidup atau kekalahan dalam perjuangan atau kegagalan dalam melaksanakan sesuatu mempunyai pengaruh yang besar terhadap jiwa manusia. Semangatnya menjadi patah, hatinya lemah, tak obahnya seperti seekor ayam yang terkulai kepalanya karena kalah berkelahi. Pada saat-saat yang demikian, timbul rasa gelisah, duka cita dan di dalam jiwanya tumbuh satu perasaan yang memandang rendah terhadap dirinya sendiri. Hal ini merupakan satu penyakit yang dinamakan oleh ahli psikologi dengan “minder waardigheids complex”. Dalam menghadapi situasi seperti tersebut, ajaran agama Islam telah menggariskan pegangan sebagaimana firman-Nya, “Janganlah kamu bersifat rendah dan jangan pula berduka cita” (Ali Imran ayat 139). Orang yang betul-betul beriman dijamin oleh Allah akan tetap mencapai kemenangan atau kesuksesan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Demikianlah hari-hari kemenangan itu Kami gilirkan di antara manusia” (Ali Imran ayat 140). Artinya, silih berganti antara senang dengan susah, antara puas dengan kecewa, antara berhasil dengan kegagalan, antara menang dengan kalah dan seterusnya. Jadi setiap muslim haruslah mempunyai kepercayaan yang bulat terhadap sunnatullah, bahwa dalam alunan naik turunnya nafas perjuangan, akhirnya kebenaran dan keadilan akan tegak berdiri, kebatilan dan kezaliman akan hancur, sesuai firman-Nya, “Apabila kebenaran (al-haq) sudah menjelma, maka yang batil akan lenyap. Tiap-tiap yang batil itu sifatnya akan hancur” (Al-Isra’ ayat 81).

Rosulullah pernah bersabda, “Apa urusannya dengan dunia? Di dunia ini aku seperti pengembara yang berteduh di bawah pohon, lalu istirahat sebentar dan meninggalkannya”. Pernyataan Rosulullah ini merupakan teguran bagi umatnya agar tidak terlalu bermegah-megahan di dunia sehingga akherat ditinggalkan. Hidup di dunia ini adalah mempersiapkan diri untuk memasuki rumah abadi, syurga ataukah neraka. Mari gunakan kesempatan hidup yang sebentar ini untuk membangun syurga dan bukan sebaliknya menggali neraka. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan fasilitas yang lengkap dan kita tinggal memilihnya, apakah nafsu yang dituuruti ataukah tawaran syurga dari Allah? Melaksanakan atau menunaikan sholat lima waktu menjanjikan berbagai kenikmatan yang tidak mungkin dapat dijangkau di dunia ini dan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kekuatan untuk melawan hawa nafsu ketika menyeru pada kebatilan. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan pernah mengingkari janji-Nya, dan Dia selalu menepati semua janji yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang bertakwa dan rajin beribadah. Tidak ada keraguan dalam diri ini bahwa kehidupan akherat adalah kehidupan yang lebih baik. Kehidupan akherat adalah kehidupan yang sebenarnya, sedangkan kehidupan di dunia ini hanyalah sementara.

Awal yang baik dan akhir yang baik di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat menjadi pelindung diri dari siksa atas dosa (dosa kecil) yang telah dilakukannya dan menjadi kebiasaannya. Bahwa kebiasaan itu bermula dari bisikan, berubah menjadi fikiran dan timbul menjadi kehendak. Kehendak itulah membuat kebiasaan yang setiap waktu dilakukan. Kenapa ? Bila kebiasaan itu baik, maka teruskanlah dan perlu ditingkatkan, namun kebiasaan yang dilakukan itu adalah kebiasaan yang buruk, bagaimana ? Solusi untuk meninggalkan kebiasaan itu adalah pengendalian diri dengan mengupayakan hal-hal yang positif. Marilah bersama-sama membangun iman dan saling mengingatkan satu sama lain, berwasiat pada kebajikan dan amal sholeh serta mencegah perbuatan keji dan mungkar. Ajaklah keluarga dan saudara untuk menunaikan sholat shubuh tepat pada waktunya, karena ibadah ini selain merupakan kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan, juga sebagai kekuatan bagi rohani dan jasmani, dapat menghapus dosa dan membersihkan diri. Setiap manusia akan menemui mati. Tidak seorangpun yang dapat menahannya. Maut adalah satu batas antara hidup di dunia dengan hidup di alam barzah (kubur) sebelum alam akherat. Orang yang meninggal itu tidak dapat ditolong dengan mengeluarkan uang buat membacakan tahlil, tidak dapat ditolong dengan mengadakan tahlilan tiga hari, tujuh hari, empatpuluh hari, seratus hari, seribu hari dan seterusnya. Satu-satunya jembatan yang masih menghubungkan seseorang yang meninggal dunia adalah tiga perkara yaitu, "Apabila manusia meninggal dunia, maka putuslah hubungannya (dengan dunia), kecuali dengan tiga perkara. Pertama, sedekah jariyah (wakaf dan sejenisnya), kedua, ilmu yang masih memberikan manfaat, ketiga, anak yang shalih yang mendoakannya". (HR Muslim). Bagi seorang wanita, diantara kesalahan yang banyak terjadi yaitu wanita yang nifas terkadang telah bersih sebelum genap empat puluh hari, namun mereka tetap meninggalkan sholat dan puasanya, dengan anggapan tidak wajib atasnya kecuali setelah genap empat puluh hari. Yang benar adalah kapan saja ia mendapatkan dirinya telah bersih, maka ia harus segera menunaikan sholat dan puasanya, baik telah genap empat puluh hari ataupun tidak. Terkadang juga sebagian dari mereka meninggalkan sholat dan puasanya jika darah terus menerus keluar setelah empat puluh hari, dan hal ini merupakan kekeliruan. Padahal, wajib atasnya untuk sholat dan berpuasa, karena darah yang keluar itu adalah darah penyakit seperti darah istihadhah. Dikecualikan bahwa jika selesai nifas (empat puluh hari) bertepatan dengan datangnya bulan (haid), maka pada saat itu ia harus meninggalkan sholat dan puasa selama waktu menurut kebiasaannya, kemudian mandi dan sholat. Begitu juga diantara kesalahan yang banyak terjadi pada sebagian kaum muslimin ketika menumpangi pesawat, mereka meninggalkan sholat di dalamnya hingga keluar waktu sholat. Ini merupakan kesalahan yang jelas serta berdosa besar, dimana bagi setiap muslim wajib berhati-hati.

Memang benar, setiap manusia itu mempunyai perilaku rakus, tamak serta kurang qona’ahnya sebagaimana yang dilakukan dan diperbuat oleh sejenis kera, monyet dan sejenisnya. Rosulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Andaikan seseorang itu sudah memiliki dua lembah dari emas, pastilah ia akan mencari yang ketiganya sebagai tambahan dari dua lembah yang sudah ada itu” (HR Bukhari dan Muslim). Seseorang yang merasa dirinya dalam kefakiran serta kemiskinan, sebaiknya mempunyai sifat qona’ah (menerima apa yang ada sambil terus berusaha memperbaiki nasibnya). Jangan sekali-kali tamak dan rakus pada hak milik orang lain, dan tidak pula menginginkan sesuatu yang ada di tangan mereka. Jangan pula berhati loba atau rakus untuk mencari harta itu dengan segala jalan yang ada, tanpa melihat baik dan buruknya serta halal dan haramnya. Dengan demikian, orang yang miskin dan fakir itu tidak akan ternoda oleh perbuatan loba dan rakusnya (lain dengan loba atau rakus terhadap ilmu pengetahuan diperkenankan untuk itu), sehingga menyebabkan ia menjerumuskan diri memasuki lembah keburukan budi dan kehinaan akhlak atau melakukan kemungkaran-kemungkaran yang terkutuk.

Islam adalah agama yang ajarannya dipenuhi oleh hal-hal yang berkaitan dengan akhlak dan budi pekerti. Dalam segala hal, baik perilaku atau perkataan yang dilakukan oleh umat dalam kehidupannya sehari-hari, telah diatur oleh Islam dengan ajaran mulia yang disebarkan oleh Rosulullah. Salah satunya adalah ibadah secara berlebihan hingga menyiksa diri, sehingga Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang dengan sabdanya, “Jangan memberatkan diri kalian sendiri, hingga kalian jadi terbebani, karena sesungguhnya dahulu terdapat kaum yang berlebihan, hingga akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi beban yang berat pada mereka” (HR Abu Dawud). Larangan tersebut juga berkaitan seseorang yang pada malam hari makan makanan yang berlebihan, sehingga mengakibatkan kantuk dan tidak dapat menunaikan sholat malam.

Dalam kehidupan ini, manusia akan bertemu dengan bermacam macam kesusahan atau musibah. Kesusahan merupakan cobaan (semacam latihan) untuk menguatkan keimanan. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk bersabar, jangan lemah semangat dan harus mempunyai pengharapan optimis. Jika ditimpa kesusahan atau musibah haruslah sesegera mungkin kembali kepada sikap hidup yang merupakan tumpuan kembali dengan mengucapkan " Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un” (kita ini adalah milik Allah dan kepada-Nya pula kita akan kembali). Tentunya bukan sekedar mengucapkan kata-kata itu, tetapi mendalami nilai-nilai hikmah dan falsafah yang terkandung dalam rangkaian kalimat tersebut yaitu menghujamkannya ke dalam jiwa dan menerapkannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Hasil yang akan dicapai oleh orang yang melaksanakan sabar dan optimis mempunyai sikap jiwa yang teguh hati. Sikap jiwa yang teguh hati terdiri tiga macam : (1) Karunia (shalawat), artinya bermacam-macam kemuliaan, kehormatan, ketinggian baik pada sisi Allah Subhana wa Ta;ala maupun pada sisi manusia. Ibnu Abbas mengatakan bahwa pengertian shalawat itu termasuk juga ampunan (maghfiroh) Illahi, (2) Rahmat, yang meliputi segala bidang kehidupan, bertemu dalam setiap keadaan dan situasi. Rahmat menimbulkan ridha dan ikhlas menerima bencana yang menimpa, dan (3) Hidayah, yang utama adalah hidayah taufiq.

Satu hal lagi mengenai kekeliruan bahwa kaum muslimat dan kaum muslimin berkeyakinan dalam melakukan sholat berjama’ah bahwa sebaik-baik shaf bagi wanita adalah yang paling belakang dan yang paling jelek adalah yang pertama, sekalipun mereka terpisah jauh dari jama’ah laki-laki. Yang benar adalah jama’ah wanita, jika terpisah dari jama’ah laki-laki maka sebaik-baiknya bagi mereka berada pada shaf pertama, dan yang terjelek adalah yang paling akhir. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah bahwasanya sebaik-baik shaf bagi wanita adalah yang paling terakhir dan yang paling buruk adalah yang pertama, maksudnya adalah shaf-shaf wanita yang mereka gunakan dalam sholat bersama jama’ah laki-laki. Jika mereka sholat terpisah dari jama’ah laki-laki, maka hukumnya seperti shaf laki-laki, yakni yang terbaik adalah yang paling depan dan yang terburuk adalah yang paling belakang.

Memang hidup ini penuh dengan cobaan, penuh dengan hawa nafsu dan keserakahan. Sudah tentu manusia mengalami kesalahan, mempunyai dosa, baik terhadap Allah maupun sesama manusia. Baik dosa kecil maupun dosa besar, berat atau ringan, karena manusia mempunyai hawa nafsu yang cenderung mempengaruhi hati untuk berbuat buruk. Manusia juga mempunyai sifat lalai sehingga cenderung berbuat khilaf. Dalam ajaran agama, dampak dari dosa akan menimbulkan siksa, sedangkan dampak dari amal kebaikan akan mendatangkan pahala. Dua sisi yang bertolak belakang inilah manusia butuh agama. Karena agama akan mengatur atau bagaikan rambu-rambu yang harus dipatuhi. Jika seseorang menabrak rambu-rambu itu, maka ia telah melakukan dosa. Dampak dari dosa itu siksa. Jangan membayangkan bahwa siksa itu hanyalah dapat dirasakan kelak di akherat, tapi di dunia pun orang yang berbuat dosa merasakan siksa itu, yaitu rasa bersalah sering muncul dalam hatinya sehingga timbul gelisah dan tidak tenang. Selama kesalahan itu tidak dibersihkan, maka rasa cemas akan terus menggerogoti jiwanya (ini berlaku bagi orang baik yang beragama maupun tidak).

Lebih-lebih bagi yang beragama, maka penderitaan hati itu dirasa cukup menyiksa dirinya. Allah Maha Bijaksana, namun janganlah kemudian memandang mudah masalah bertauat ini. Karena merasa yakin bahwa Allah Maha Pengampun, lalu memandang mudah untuk bertaubat. Pada umumnya mereka itu menunda-nunda bertaubat, padahal ia menyadari dirinya berlumuran dosa. Karena taubatnya ditunda terus, sementara dosa kian bertamah, maka kedekilan hati bertambah gelap, akhirnya jauh dari hidayah. Bila seseorang jauh dari hidayah maka semakin malaslah untuk bertaubat. Sebagai contoh jauh dari hidayah adalah golongan yang paling keras memusuhi Islam (Yahudi dan Musyrikin), sehingga Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sampai bersabda, khusus kepada Yahudi, “Tiada seorang Yahudi yang bertemu seorang muslim sendirian, melainkan ia berniat akan membunuhnya” (HR Ibnu Mardaweh). Sebaliknya Allah memberitahukan bahwa orang yang paling dekat dengan orang-orang beriman adalah orang Nashrani, yaitu orang Nashrani yang benar-benar mencintai kebenaran yang bersumber dari Allah, seperti Raja Najasi. Karena kecintaan kepada kebenaran itu secara tulus ikhlas maka hatinya menjadi terbuka untuk menerima hidayah, petunjuk dari Allah.

Betapa cerdasnya Rosulullah memberikan jawaban atau solusi sesuai ajaran Allah yang diembannya. Tidak semua kesalahan, beliau sikapi dengan kemarahan, meskipun tentu saja marahnya itu karena Allah. Rosulullah memahami bahwa tidak mungkin memperlakukan semua orang dengan sikap yang sama. Tentunya kita berfikir secara jernih untuk mengungkapkan dua peristiwa tersebut di atas. Satu hal yang seharusnya dapat diambil dari sikap-sikap Rosulullah itu adalah, bagaimana beliau mencari solusi dalam “mengetuk pintu” ke dalam hati seseorang agar orang itu dapat menerima nilai-nilai kebenaran yang menjadi misinya. Sekarang apa urgensinya memperhatikan tuntutan Rosulullah tersebut dalam mengatasi suatu pertanyaan? Ya, jika kita mengamalkan apa-apa yang telah digariskan oleh Rosulullah dalam hal apa saja termasuk dalam mengatasi suatu permasalahan, maka tentu saja kita telah mengamalkan sebagian amal sholeh yang dijanjikan akan dibalas dengan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun lebih dari itu, ada hal lain yang juga merupakan kepentingan kita, yaitu dakwah. Ya, dakwah.

Kita sebagai hamba-Nya yang tidak mampu sedikitpun menentukan kehidupan kita sendiri. Untuk itu, hendaknya kita berusaha atau berikhtiar dengan sekuat tenaga dan kemudian dengan rela dan lapang dada menerima hasilnya yang memang sudah merupakan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya ketentuan Allah tersebut adalah juga merupakan nikmat yang harus kita syukuri, sebagaimana Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mensyukuri nikmat yang telah diterimanya dalam doanya yang sering diucapkan pada tiap-tiap selesai melaksanakan shalat fardhu untuk mensyukuri nikmat yang telah diterimanya : "Ya Allah, ya Tuhan kami, jagalah kami agar supaya selalu ingat kepada-Mu dan tetap bersyukur kepada-Mu, serta jadikanlah kami termasuk orang yang baik di dalam mengabdi kepada-Mu". Dengan banyaknya dan terlalu seringnya menerima dan merasakan nimat dari Allah, hingga seringkali kita lupa bahwa apa yang telah kita terima dan rasakan itu merupakan nikmat. Contohnya orang sehat, yang berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun dalam keadaan sehat, dan dia sama sekali tidak merasa bahwa kesehatannya itu merupakan nikmat. Ketika ia terserang penyakit, maka ia akan merasakan betapa besar nikmat yang namanya kesehatan itu. Maka sudah seharusnya kita bersyukur, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri sebagai seorang yang ma'sum atau terpelihara dari dosa saja merasa takut tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang bersyukur. Apakah kita ini yang berlumuran dosa tidak merasa malu untuk menerima pemberian-Nya tanpa mau bersyukur kepada-Nya? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “…Dan siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan siapa yang ingkar maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia” (An-Naml ayat 40). Maksud ayat ini adalah perintah yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya merupakan bukan hal yang sia-sia belaka, yang pada hakekatnya akan membawa keberuntungan kepada diri kita masing-masing.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengkaruniakan kenikmatan kepada hamba-hamba-Nya dengan mengutus Nabi-Nya dan menurunkan Kitab-Nya yang tidak dapat dimasuki oleh kebathilan, baik dari depan atau belakang, sehingga meluaslan jalan pengambilan ibarat bagi para ahli fikir untuk menguraikan isi-isinya yang berupa berita maupun ceritera. Dengan adanya kitab, menjadi jelaslah jalan yang lurus, yang harus ditempuh, juga aliran yang benar yang harus dilalui untuk memahami pengertian-pengertian hukum yang tercantum di dalamnya. Kitab pulalah yang memisahkan antara yang halal dan yang haram. Fungsinya sebagai cahaya yang cemerlang, dengan berpegang teguh kitab tersebut, maka akan selamatlah setiap manusia dari tipuan. Kandungannyapun penuh dengan penawar untuk menyembuhkan hati dan jiwa yang sakit. Barangsiapa yang berpegang teguh dengan kitab suci itu, pasti ia akan memperoleh petunjuk yang sehat dan barangsiapa yang mengamalkannya pasti akan bahagia selama-lamanya. Allah telah berfirman, “Sesungguhnya Kami (Allah) telah menurunkan peringatan (yakni Al-Qur’an) dan Kami pasti memberi perlindungan padanya (dari perubahan yang dibuat oleh siapapun). Jika kehidupan yang baik di dunia maupun di akherat kelak yang penuh dengan serba kenikmatan dapat dicapai seorang manusia, maka jenjang yang harus ditempuh adalah beramal shaleh dan beriman. Amal shaleh adalah segala perbuatan kebaikan yang mendatangkan manfaat untuk diri sendiri, keluarga, bangsa dan negara (minimal melakukan sesuatu perbuatan yang tidak dilarang Allah itupun amal shaleh). Iman adalah kepercayaan mutlak terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Imanlah yang menjadi sumber segala nilai positif yang diperlukan dalam kehidupan dan penghidupan, bahkan iman merupakan faktor kejiwaan yang menentukan. Bila suatu amal atau perbuatan kebajikan yang tidak dilaksanakan atas dasar iman, misalnya bermotif kemanusiaan, ini merupakan landasan yang rapuh dan sia-sia. Jadi, kehidupan yang baik dapat dicapai oleh seorang muslim hanya melalui amal sholeh dan iman.

Sulit dibayangkan, manakala manusia hidup dan kehidupan ini tanpa daya guna dan hasil guna mengenai waktu. Allah telah memberikan contoh, betapa alam jagad raya ini dikemas dan dikelola melalui “manajemen waktu” yang terstuktur dan terukur. Bagi seorang muslim, harus menghargai dan memanfaatkan waktu, karena Allah telah mengingatkan agar kita mewaspadai keberadaan dan keterbatasan waktu. Ruang lingkup waktu bersifat multidimensi, ada yang pendek atau panjang, ada yang sesaat maupun berkesinambungan. Lebih jauh, Rosulullah mengingatkan kita untuk memelihara lima perkara sebelum tiba perkara yang lima, yaitu masa hidup, sebelum tiba masa mati, masa sehat, sebelum tiba masa sakit, masa longgar, sebelum tiba masa sempit, masa muda, sebelum tiba masa tua, masa kaya, sebelum tiba masa miskin. Jadi sungguh merugi seorang muslim yang tidak menghargai dan mendayagunakan waktunya, karena waktu adalah tanda-tanda kebesaran dan keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bila pandai memanfaatkannya, bakal besar daya dan maknanya bagi hidup dan kehidupan kita. Bukankah keterpurukan dan ketertinggalan kaum muslimin saat ini disebabkan oleh rapuhnya penghayatan dan kemalasan dalam memelihara dan memanfaatkan waktu?

Hal yang lain adalah jihad fisabililah, dimana Islam baru menyatakan perang apabila musuh-musuh Islam melakukan kezaliman (penganiayaan, penyiksaan, menahan, menghukum dan mengintimidasi) terhadap umat Islam atau menyerang kepada umat Islam. Karena hal tersebut, Islam mewajibkan umatnya untuk mengenyahkan kezaliman dan permusuhan, sehingga kaum muslimin bebas dari penindasan, rongrongan dan kebiadaban kaum kuffar. Kewajiban jihad ini dimulai dengan memberi dua alternatif untuk dipilih oleh setiap muslim, yaitu (1) Mencintai kehidupan dunia dengan segala kesenangannya seperti kehidupan kekeluargaan (bapak, ibu, anak, saaudara, istri atau suami dan sanak keluarga), kehidupan ekonomi atau segala sesuatu yang mendapatkan keuntungan, kehidupan kemulyaan atau kedudukan, dan (2) Mencintai Allah, Rosul-Nya dan berjihad di jalan-Nya. Apabila alternatif pertama yang menjadi pilihan, maka Allah tidak akan memberikan bimbingan dan petunjuknya sehingga setiap saat terjadi bencana dan azab akan menimpanya. Dan pada umumnya, umat Islam memilih alternatif kedua, sebagaimana dibuktikan dalam sejarah perjuangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, dengan jalan pergi hijrah ke Madinah untuk mempertahankan agama-Nya serta menempuh cita-cita luhurnya, meninggalkan semua keluarga, harta kekayaan, jabatan serta kehormatan yang ada di kampung halaman mereka.

Banyaklah sekarang di media elektronik menyebarkan ajaran-ajaran agama Islam, sehingga membuat gerah ajaran agama lain atau agama islam yang menganut liberal dan mereka mengacaukan setiap status dan note dengan berbagai komentar yang menurut pendapat mereka adalah benar. Padahal mereka hanya mendasarkan pada akal saja, bukan pada dalil al-Qur’an dan hadits, bahkan ada juga mendasarkan dalil dan hadits namun dengan pemikiran akal (dengan rasa kesombongannya) untuk meyakini apa yang diutarakannya. Pada umumnya mereka itu hanyalah mengolah bahasa saja dengan didukung akal pemikiran logis (merupakan strategi mereka). Apakah mereka itu ahli menafsirkan bahasa Arab, yang nota bene adalah bahasa Al-Qur’an dan bahasa ajaran Islam? Bisa saja mereka sedikit mengetahui dan memahami, namun tidaklah secara kaffah (keseluruhan) dengan menyimpulkan sesuatu. Mereka itu gagal menemukan Tuhan seperti halnya para pencuri gagal menemukan polisi, yang persoalannya ada di dalam mentalnya. Mereka itu menganggap bahwa orang yang religious saja belum cukup sehingga bertanya orang yang beragama atau orang baik? Selanjutnya bertanya lagi, agama itu merupakan kebutuhan atau keharusan? Buat apa mengharapkan syurga? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Katakanlah : Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) kamu mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) kamu mengada-adakan terhadap apa yang tidak kamu ketahui” (Al-A’raf ayat 33).

Agar lebih menguatkan iman kita, ada baiknya memahami “Syahadatain” yang merupakan dua unsur urat nadi “aqidah”, yang menjadi anak kunci membuka pintu gerbang ajaran Islam. Untuk diakui menjadi seorang muslim dengan mengucapkan “asyhadu al laa ilaaha illaallah wa asyhadu anna muhammadar rosuulullah”, aku mengakui bahwa tidak ada tuhan yang lain kecuali Allah dan bahwasanya Nabi Muhammad adalah utusan Allah”. Pengakuan atas kalimah syahadat, haruslah diucapkan oleh seorang pemeluk Islam atau yang hendak menganut agama Islam. Keislaman seseorang belum sah tanpa mengucapkan kalimat syahadat tersebut. Kalimah syahadat harus diucapkan secara formil dengan lidah, tentu saja pengakuan yang diucapkan semestinya sesuai dengan suara dan pengakuan hati nuraninya sendiri. Namun, untuk mengetahui apakah sesuai ucapan dengan getaran hati nuraninya itu merupakan kompetensi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, syarat yang ditetapkan pada tingkat pertama untuk menjadi seorang muslim, hanyalah mengucapkan kalimah syahadat itu saja, sedangkan hakekat yang sebenarnya dalam hati adalah urusan orang yang bersangkutan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesudah mengucapkan kalimah syahadat itu, barulah terpikul di pundaknya kewajiban-kewajiban (konsekkuensi) yang harus dilaksanakan oleh seorang muslim.

Bila seseorang seseorang membaca dan mendengar serta memperhatikan sejarah Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, juga berita-berita yang disampaikan mengenai akhlaknya, adat istiadatnya, wataknya dan tabiatnya, kemuliaan sifat-sifatnya dan bagaimana strategi terhadap seluruh makhluk dalam cara memberikan petunjuk ajaran agama yang dibawanya, bagaimana menghubungan dan berhubungan dengan seluruh lapisan masyarakat (antara golongan dengan golongan lainnya), bagaimana cara memimpin untuk mentaati perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, tak lupa menyebutkan bagaimana keajaiban atau kekuatan yang dipunyainya dalam menjawab segala macam pertanyaan sahabat-sahabatnya yang pelik dan rumit, bagaimana cara mengatur untuk kebaikan seluruh umat manusia, isyarat-isyarat yang diperlihatkan dalam mengupas urusan syari’at bagi semua orang yang berakal, maka orang tersebut tidaklah ragu-ragu dalam hatinya dan kalbunya bahwa apa yang Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam perlihatkan itu hanyalah semata-mata pertolongan dari suatu kekuasaan yang luar biasa atau dari kekuatan Ilahiah belaka. Segala hal ihwal mengenai Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan keyakinan dan sebagai bukti yang menguatkan kebenaran pengakuannya, sehingga bagi setiap orang Arab yang jujur, sekalipun wataknya yang kasar pasti akan berkata, “Demi Allah, wajah yang demikian itu bukanlah wajah seorang pendusta”. Dengan hanya menilik wajahnya saja pastilah ia akan membenarkan pengakuannya. Tabir kebenaran yang menjadi perhatian manusia baik muslim maupun non muslim terhadap Muhammad sebagai manusia terungkap mengenai budi pekertinya

Itulah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam pembawa risalah kebenaran dan Allah lah yang membedakan manusia dari seluruh jenis hewan dengan akal dan menyinarinya dengan fitrah, serta menyempurnakannya dengan kenabian. Manusia secara naluriah adalah makhluk berbudaya. Karena itu setiap individu, pandangan dan perasaannya terhadap masyarakatnya haruslah konstruktif sebagaimana ia mengambil maka ia harus memberi. Seperti hal nya orang lain membantu kebutuhannya maka ia pun harus andil dalam memenuhi hajat orang lain. Akan tetapi sikap egois atau perbedaan pemahaman dan potensi beramal sering membuat sebagian manusia menjauhi kebenaran, mungkin itu karena malas, salah tindakan atau karena unsur penipuan, dan ia menempuh berbagai cara guna memenuhi keinginan dan gharizahnya. Dan hal itu tidak lain, adalah agama dan cahaya iman yang menjadikan setiap individu merasa bahwa Allah Yang Mahatahu senantiasa mengawasi gerak-geriknya. Ia merasa bahwa Allah yang nampak bagi-Nya seluruh apa yang ada di langit dan di bumi akan membalas semua orang atas amal-amalnya. Maka datanglah ajaran samawi untuk membimbing manusia menuju kebahagiaan dengan sangat memprhatikan roh dan jasad secara seimbang. Ia menggariskan suatu jalan yang harus dilalui untuk mewujudkan keinginan dan gharizahnya. Maka Islam mengharamkan pembunuhan dan kerahiban karena mengekang naluri dan keinginan manusia, Ia memerintahkan untuk menikmati rizki halal lagi baik, serta mengharamkan khaba’its (yang kotor dan menjijikkan). Ia memerintahkan untuk beribadah kepada-Nya dengan memurnikan keikhlasan untuk-Nya dan melarang kekufuran, kefasikan serta kemaksiatan dalam banyak ayat Al-Qur’an.


No comments:

Post a Comment